Klikbacanews.com– Gelombang protes meletup di Kota Makassar. Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulawesi Selatan bersama pers mahasiswa, lembaga independen, dan pegiat demokrasi turun ke jalan, menolak segala bentuk ancaman terhadap kebebasan pers.
Aksi berlangsung di depan AAS Building, Jalan Urip Sumoharjo, Selasa (4/11/2025) siang — tak lama setelah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menggugat Tempo dengan tuntutan fantastis senilai Rp200 miliar.
Awalnya, aksi berjalan damai. Para jurnalis membentangkan spanduk dan menyuarakan penolakan terhadap kriminalisasi media.
Namun suasana berubah tegang saat kelompok lain yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa dan Petani Bersatu Sulawesi Selatan datang dan melakukan orasi tandingan, menuding Tempo menyebarkan berita bohong serta menuntut pencabutan izin medianya.
Ketegangan memuncak ketika sejumlah jurnalis memasang karangan bunga bertuliskan “Amran Sulaiman Kamu Jahat Sama Jurnalis, KAJ Sulsel.”
Sekelompok pria berpakaian preman mendadak menyerbu dan memukul peserta aksi. Saling dorong tak terelakkan sebelum akhirnya polisi melerai kedua kubu.
“Cukup, kawan-kawan! Aksi kita aksi terkonsolidasi,”
seru salah satu orator dari KAJ Sulsel menenangkan massa lewat pengeras suara.
Koordinator Aksi Sahrul Ramdhan menegaskan, langkah hukum Amran terhadap Tempo adalah preseden berbahaya bagi kebebasan pers.
“Gugatan ini bukan sekadar sengketa, tapi ancaman serius terhadap kemerdekaan pers dan hak publik untuk tahu,” ujar Sahrul.
Menurutnya, gugatan yang kini memasuki sidang awal di PN Jakarta Selatan merupakan bentuk pembungkaman ruang demokrasi oleh lembaga negara.
“Kalau Tempo saja digugat, bagaimana dengan kami yang hanya menyuarakan kebenaran? UU Nomor 40 Tahun 1999 jelas menyebut, sengketa pers diselesaikan lewat Dewan Pers, bukan lewat gugatan perdata,” tegas pengurus Bidang Advokasi AJI Makassar itu.
Usai aksi bubar, ketegangan kembali pecah. Seorang pria tak dikenal mendatangi orator KAJ Sulsel dan memukulnya, lalu berlari masuk ke dalam gedung AAS Building.
Latar Belakang Gugatan Mentan
Gugatan Amran Sulaiman bermula dari poster berita Tempo edisi 16 Mei 2025 berjudul “Poles-poles Beras Busuk” yang menjadi pengantar artikel utama “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah.”
Alih-alih menggunakan hak jawab atau mekanisme mediasi Dewan Pers, Kementerian Pertanian justru mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi immateril Rp200 miliar dan kerugian materil Rp19 juta.
“Nilai gugatan yang tak masuk akal ini menunjukkan abuse of power. Ini upaya membungkam, membangkrutkan, dan menakut-nakuti jurnalis kritis,” tutur Sahrul.
Ia mengingatkan, Mahkamah Konstitusi lewat surat Nomor 105/PUU-XXII/2024 telah menegaskan bahwa lembaga pemerintah tidak memiliki dasar hukum menggugat pencemaran nama baik.
“Artinya, gugatan Mentan terhadap Tempo tidak memiliki dasar hukum yang sah,” tambahnya.
Jejak Sengketa Pers Keluarga Amran di Makassar
Gugatan terhadap Tempo bukan kasus tunggal. Dari catatan KAJ Sulsel, keluarga besar Amran Sulaiman beberapa kali bersengketa dengan media.
Kasus pertama, lima mantan staf khusus Gubernur Andi Sudirman Sulaiman menggugat herald.id dan inikata.co.id, beserta wartawan serta narasumbernya, senilai Rp700 miliar.
Gugatan itu muncul akibat berita “ASN yang Dinonjobkan di Era Gubernur Andi Sudirman Sulaiman Diduga Ada Campur Tangan Stafsus” pada 19 September 2023.
Kasus kedua, Andi Nurlia Sulaiman, adik Mentan Amran, menggugat Legion News (PT Media Hankam Digital) sebesar Rp200 miliar atas artikel
“Nama Adik Mentan Terseret-seret Penggelapan Dana Rekanan di Proyek Milik Pemprov Sulsel, Berujung di Polisi” yang tayang 9 Oktober 2024.
LBH Pers: Negara Gagal Lindungi Pilar Demokrasi
Direktur LBH Pers Makassar, Fajriani Langgeng, menilai gugatan terhadap Tempo adalah bentuk pembungkaman media dan serangan terhadap jurnalisme kritis.
“Tempo sudah mengikuti mekanisme Dewan Pers. Kalau tetap digugat dengan tuduhan perbuatan melawan hukum, berarti mekanisme itu diabaikan,” ujarnya.
Fajriani juga menyoroti ironi di balik gugatan ini: nilai ganti rugi yang diminta justru akan disetorkan ke kas negara.
“Negara menggugat media, lalu meminta uang dari kerja jurnalistik? Ini absurditas demokrasi,” tegasnya.
Menurutnya, praktik seperti ini menandakan gejala otoritarianisme baru.
“Negara seharusnya menjaga kemerdekaan pers, bukan menjadi ancaman terhadapnya,” pungkas Fajriani.
Editor : Darwis













